Senior PDIP Desak Pemidanaan Jokowi dengan Pasal 378 KUHP: Tuduhan Penipuan Terkait Ijazah
6tv.info - Kontroversi seputar keaslian ijazah mantan Presiden Joko Widodo kembali memanas setelah politikus senior PDIP, Beathor Suryadi, melontarkan pernyataan keras mendesak pemidanaan Jokowi dengan Pasal 378 KUHP tentang penipuan. Pernyataan tersebut disampaikan menyusul polemik berkepanjangan terkait dugaan pemalsuan ijazah Universitas Gadjah Mada (UGM) yang belakangan menjadi sorotan publik.
Beathor Suryadi, yang dikenal sebagai tokoh vokal di internal PDIP, menuding mantan presiden melakukan penipuan publik terkait ijazah UGM dan menuntut proses hukum berdasarkan pasal penipuan dalam KUHP. Ia menyoroti tindakan Jokowi yang datang ke Bareskrim untuk menyerahkan dan kemudian mengambil kembali ijazah yang disebut sebagai "asli", namun tak pernah diperlihatkan secara terbuka kepada publik.
Kontroversi ini bermula dari laporan Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) yang mempertanyakan keaslian ijazah Jokowi beberapa waktu lalu. Meski Bareskrim Polri telah melakukan uji forensik dan menyatakan dokumen tersebut asli, sejumlah pihak termasuk Beathor masih meragukan hasil tersebut. Ia bahkan menuduh adanya strategi hukum yang dilakukan Jokowi dengan memanfaatkan dua institusi kepolisian berbeda.
Dalam pernyataannya pada Rabu (21/5/2025), kader senior PDIP tersebut mempertanyakan proses pembuktian yang dilakukan Bareskrim. "Barang bukti diambil, dibawa pulang tanpa penjelasan hasil forensik. Lalu apa bukti perkara jika barang bukti tidak ada di pengadilan?" tegas Beathor, yang menilai tindakan tersebut sebagai bentuk politisasi dan pengelabuan hukum demi mencapai perdamaian secara sepihak.
Pernyataan Beathor ini menambah tensi politik yang sudah memanas antara kubu Jokowi dengan PDIP, partai yang dulu mengusung Jokowi menjadi presiden. Hubungan keduanya diketahui mulai retak menjelang Pilpres 2024 lalu, dan kini semakin memburuk dengan munculnya tuduhan pidana dari kader senior partai berlambang banteng moncong putih tersebut.
Pernyataan Keras Beathor Suryadi Soal Pemidanaan Jokowi
Dalam pernyataan tertulisnya yang beredar luas di media, Beathor Suryadi tidak tanggung-tanggung mengkritik mantan Presiden Jokowi terkait kontroversi ijazah UGM. Politikus senior PDIP ini secara tegas menuduh Jokowi telah melakukan penipuan publik dan layak diproses hukum dengan Pasal 378 KUHP tentang penipuan, pemalsuan, dan pembohongan publik.
Beathor menyoroti sikap Jokowi yang menurutnya bersiasat dengan menggunakan klaim "asli" untuk membungkam kritik, padahal faktanya publik tidak pernah melihat wujud asli ijazah tersebut. "Jokowi bersiasat. Ia menggunakan kata 'asli' untuk membungkam kritik, tapi faktanya publik tidak pernah melihat wujud asli ijazah itu," ujar Beathor dalam pernyataannya.
Lebih lanjut, tokoh PDIP ini juga mengkritik perlakuan berbeda yang diterima oleh lima aktivis dari Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) yang masih diburu kepolisian dengan beragam pasal pidana. Beathor menganggap ini sebagai bentuk tekanan psikologis agar kasus ijazah ini berhenti di tengah jalan tanpa pembuktian yang transparan.
"Kondisi ini akan berujung damai, tapi tanpa publik pernah melihat ijazah itu. Semua dipaksa percaya tanpa bukti terbuka. Ini penghinaan terhadap akal sehat publik," tambah Beathor dengan nada kritis. Ia menegaskan bahwa tuntutan pencemaran nama baik yang diajukan kubu Jokowi seharusnya sudah gugur, dan sebaliknya, Jokowi-lah yang harus diproses hukum.
Puncak dari pernyataan Beathor adalah tuntutan tegas agar tidak ada impunitas di negeri ini. "Tuntutan pencemaran nama baik telah gugur. Maka saatnya membalik perkara: Jokowi yang harus diproses hukum. Jangan ada impunitas di negeri ini," pungkasnya dengan nada tajam, menunjukkan keseriusan tuntutan pidana yang diajukannya.
"Jokowi bersiasat. Ia menggunakan kata 'asli' untuk membungkam kritik, tapi faktanya publik tidak pernah melihat wujud asli ijazah itu," - Beathor Suryadi, Politikus Senior PDIP
Memahami Pasal 378 KUHP: Unsur-unsur Tindak Pidana Penipuan
Untuk memahami konteks tuntutan Beathor Suryadi terhadap Jokowi, penting untuk mengetahui bunyi dan unsur-unsur Pasal 378 KUHP yang menjadi dasar tuntutan tersebut. Pasal ini mengatur tentang tindak pidana penipuan dalam hukum pidana Indonesia dan sering digunakan untuk menjerat pelaku yang dianggap melakukan tipu muslihat atau kebohongan.
Bunyi lengkap Pasal 378 KUHP adalah: "Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun."
Berdasarkan rumusan pasal tersebut, terdapat beberapa unsur penting yang harus terpenuhi agar seseorang dapat dijerat dengan pasal penipuan. Unsur pertama adalah adanya maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Dalam konteks tuduhan terhadap Jokowi, Beathor menyiratkan bahwa penggunaan ijazah yang dipertanyakan keasliannya telah menguntungkan Jokowi secara melawan hukum, terutama dalam karir politiknya.
Unsur kedua adalah penggunaan nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan. Beathor menuduh Jokowi telah menggunakan tipu muslihat dengan mengklaim memiliki ijazah asli namun tidak pernah memperlihatkannya secara terbuka kepada publik. Ia juga menyinggung adanya strategi hukum yang memanfaatkan dua institusi kepolisian berbeda untuk mengaburkan fakta.
Unsur ketiga adalah tindakan tersebut menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu, memberi hutang, atau menghapuskan piutang. Dalam konteks politik, Beathor menyiratkan bahwa publik telah "menyerahkan" kepercayaan dan dukungan politik kepada Jokowi berdasarkan kredensial akademik yang kini dipertanyakan keasliannya.
"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun." - Pasal 378 KUHP
Kontroversi Ijazah UGM dan Tuntutan Hukum
Kontroversi seputar ijazah Jokowi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) bermula ketika Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) melaporkan dugaan pemalsuan ijazah ke Bareskrim Polri beberapa bulan lalu. Laporan tersebut mempertanyakan keaslian ijazah sarjana Jokowi dari Fakultas Kehutanan UGM yang diperolehnya pada tahun 1985, dengan judul skripsi "Studi tentang Pola Konsumsi Kayu Lapis pada Pemakaian Akhir di Kotamadya Surakarta".
Menanggapi laporan tersebut, Bareskrim Polri telah melakukan penyelidikan menyeluruh, termasuk memeriksa puluhan saksi dan mengunjungi berbagai lokasi untuk mengumpulkan bukti. Penyidik juga melakukan uji laboratorium forensik terhadap ijazah Jokowi dengan membandingkannya dengan dokumen serupa dari mahasiswa seangkatannya. Hasilnya, Bareskrim menyatakan bahwa ijazah tersebut asli dan identik dengan dokumen pembanding.
Namun, kejanggalan yang disoroti oleh TPUA dan kemudian diperkuat oleh Beathor Suryadi adalah fakta bahwa ijazah asli yang diserahkan Jokowi ke Bareskrim kemudian diambil kembali tanpa pernah diperlihatkan secara terbuka kepada publik. Beathor mempertanyakan bagaimana proses pembuktian dapat dilakukan jika barang bukti tidak ada di pengadilan, dan menuduh adanya politisasi hukum dalam penanganan kasus ini.
Salah satu aspek yang menjadi sorotan dalam kontroversi ini adalah teknologi percetakan yang digunakan pada tahun 1985. Beberapa pihak mempertanyakan bagaimana dokumen tersebut bisa memiliki kualitas cetakan yang sangat baik dengan teknologi percetakan yang tersedia pada masa itu. Pertanyaan ini menjadi salah satu dasar keraguan terhadap keaslian ijazah Jokowi.
Perbedaan pendapat tentang keaslian dokumen ini semakin memanas dengan munculnya tuntutan pidana dari Beathor Suryadi. Di satu sisi, Bareskrim menyatakan dokumen tersebut asli berdasarkan uji forensik, sementara di sisi lain, Beathor dan TPUA tetap meyakini adanya kejanggalan yang perlu diusut tuntas melalui proses hukum yang transparan.
Strategi Hukum yang Dituduhkan kepada Jokowi
Dalam pernyataan yang lebih spesifik, Beathor Suryadi mengungkapkan adanya dugaan taktik dari mantan Presiden Jokowi dalam memanfaatkan dua institusi kepolisian berbeda, yakni Bareskrim dan Polda Metro Jaya, dalam kasus dugaan ijazah palsu ini. Menurut politikus PDIP ini, langkah tersebut dilakukan untuk mengantisipasi gerakan Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) dan mengaburkan fakta sebenarnya.
Beathor menyebutkan bahwa Jokowi dan tim pengacaranya mungkin tidak menyadari bahwa taktik tersebut sudah sangat dipahami oleh TPUA. Ia mengklaim bahwa video yang beredar di masyarakat memperlihatkan pihak kepolisian hanya menerima fotokopi dokumen, sementara suara Jokowi terdengar mengatakan bahwa pihaknya telah menyerahkan ijazah asli kepada polisi.
"Jika kita tidak cerdas, kita bisa terperangkap. Memang benar bahwa ipar dan pengacaranya menyerahkan ijazah asli ke Bareskrim, itu kata mereka. Namun, Jokowi di Polda Metro Jaya hanya menyerahkan fotokopi ijazahnya ke loket kehilangan," ujar Beathor Suryadi, seperti dikutip dari pernyataannya pada 18 Mei 2025.
Lebih lanjut, kader senior PDIP ini memperingatkan agar publik tidak terperangkap oleh tindakan Polda Metro Jaya, dan tetap fokus pada Bareskrim yang memiliki kemampuan forensik. Menurutnya, bukti keaslian ijazah berdasarkan analisis Bareskrim berbeda dengan ijazah yang sebelumnya telah dikupas oleh TPUA, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang dokumen mana yang sebenarnya digunakan dalam proses pembuktian.
"Perangkap yang menjebak TPUA adalah adanya dua dokumen ijazah, satu di Bareskrim yang dipakai untuk memperdaya TPUA, sementara yang di Polda hanya untuk menggiring opini," lanjut Beathor, yang menegaskan bahwa kekuatan militansi TPUA akan tetap solid dalam melawan klaim keaslian ijazah versi forensik Bareskrim.
Tanggapan Kubu Jokowi Terhadap Tuduhan
Menanggapi berbagai tuduhan yang dilontarkan oleh Beathor Suryadi dan TPUA, kubu Jokowi melalui kuasa hukumnya telah menegaskan bahwa ijazah mantan presiden tersebut asli dan telah dibuktikan melalui uji forensik yang dilakukan Bareskrim Polri. Mereka menyatakan bahwa hasil pemeriksaan forensik menunjukkan kesesuaian antara dokumen milik Jokowi dan pembanding dari mahasiswa seangkatannya.
Kuasa hukum Jokowi juga membantah tuduhan adanya strategi hukum yang memanfaatkan dua institusi kepolisian berbeda. Mereka menjelaskan bahwa penyerahan dokumen ke Bareskrim dan Polda Metro Jaya dilakukan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku dan tidak ada upaya untuk mengaburkan fakta seperti yang dituduhkan oleh Beathor Suryadi.
Terkait dengan tuduhan penipuan berdasarkan Pasal 378 KUHP, kubu Jokowi menyatakan bahwa tuduhan tersebut tidak berdasar dan merupakan bentuk politisasi kasus yang sebenarnya sudah selesai secara hukum. Mereka menegaskan bahwa Bareskrim telah melakukan penyelidikan menyeluruh dan tidak menemukan adanya unsur pidana dalam kasus ini.
Sikap Jokowi sendiri terhadap kontroversi yang berkepanjangan ini cenderung tenang dan tidak banyak memberikan komentar publik. Melalui kuasa hukumnya, ia menyatakan akan menghormati proses hukum yang berlaku dan siap memberikan klarifikasi jika diperlukan. Namun, ia juga menegaskan bahwa dokumen asli ijazahnya tidak akan ditampilkan ke hadapan publik kecuali diperlukan untuk kepentingan hukum atau persidangan.
Dukungan terhadap Jokowi juga datang dari berbagai pihak, termasuk alumni UGM dan beberapa tokoh politik yang meyakini keaslian ijazah mantan presiden tersebut. Mereka menilai bahwa kontroversi ini lebih bernuansa politik daripada upaya mencari kebenaran, dan menyayangkan munculnya tuduhan-tuduhan yang dapat mencemarkan nama baik institusi pendidikan seperti UGM.
Implikasi Hukum dan Politik dari Pernyataan Beathor
Pernyataan keras Beathor Suryadi yang mendesak pemidanaan Jokowi dengan Pasal 378 KUHP memiliki berbagai implikasi, baik secara hukum maupun politik. Dari segi hukum, tuduhan penipuan yang dilontarkan tanpa bukti kuat dapat berpotensi memicu gugatan pencemaran nama baik dari kubu Jokowi. Meski Beathor menyatakan bahwa tuntutan pencemaran nama baik telah gugur, namun pernyataannya sendiri dapat menjadi dasar gugatan baru.
Secara politik, pernyataan ini semakin mempertegas retaknya hubungan antara Jokowi dengan PDIP, partai yang dulu mengusungnya menjadi presiden. Konflik ini telah berlangsung sejak menjelang Pilpres 2024, ketika Jokowi dianggap tidak mendukung calon yang diusung PDIP. Tuduhan pidana dari kader senior PDIP ini dapat dilihat sebagai eskalasi konflik yang semakin terbuka dan frontal.
Polarisasi pendukung kedua kubu juga semakin terlihat jelas menyusul pernyataan Beathor. Di satu sisi, pendukung Jokowi melihat tuduhan ini sebagai serangan politik yang tidak berdasar, sementara di sisi lain, pendukung PDIP dan TPUA melihatnya sebagai upaya menegakkan kebenaran dan menuntut pertanggungjawaban hukum.
Pernyataan Beathor juga berpotensi mempengaruhi citra politik Jokowi pasca-presiden. Meski telah menyelesaikan masa jabatannya, Jokowi masih memiliki pengaruh politik yang signifikan. Tuduhan pidana ini dapat menjadi batu sandungan bagi langkah politik Jokowi di masa depan, terutama jika kasus ini terus bergulir dan mendapat perhatian publik.
Kemungkinan eskalasi konflik politik juga perlu diwaspadai, mengingat ketegangan antara kubu Jokowi dan PDIP yang semakin meningkat. Jika kedua pihak tidak menahan diri dan terus melontarkan tuduhan-tuduhan keras, konflik ini berpotensi meluas dan melibatkan lebih banyak pihak, yang pada akhirnya dapat berdampak pada stabilitas politik nasional.
"Tuntutan pencemaran nama baik telah gugur. Maka saatnya membalik perkara: Jokowi yang harus diproses hukum. Jangan ada impunitas di negeri ini," - Beathor Suryadi, Politikus Senior PDIP
Perkembangan Terkini Kasus Ijazah Jokowi
Status penyelidikan Bareskrim terkait kasus dugaan ijazah palsu Jokowi saat ini telah dihentikan dengan kesimpulan bahwa dokumen tersebut asli. Bareskrim menyatakan telah melakukan uji laboratorium forensik yang menunjukkan kesesuaian antara ijazah Jokowi dengan dokumen pembanding dari mahasiswa seangkatannya. Namun, penghentian penyelidikan ini tidak serta-merta menghentikan kontroversi, terutama dengan munculnya tuntutan pidana dari Beathor Suryadi.
Sikap resmi PDIP sebagai institusi terhadap pernyataan Beathor Suryadi belum dikeluarkan secara formal. Meski Beathor merupakan kader senior partai tersebut, belum jelas apakah pernyataannya mewakili sikap resmi PDIP atau hanya pendapat pribadi. Beberapa pengamat politik melihat hal ini sebagai indikasi adanya perbedaan pandangan di internal PDIP terkait sikap terhadap Jokowi.
Reaksi publik dan media terhadap kontroversi ini cukup beragam. Sebagian melihatnya sebagai drama politik yang tidak substansial, sementara sebagian lain menganggapnya sebagai isu serius yang menyangkut integritas seorang mantan presiden. Media mainstream cenderung berhati-hati dalam memberitakan kasus ini, mengingat sensitivitasnya dan potensi dampak politiknya.
Kemungkinan penyelesaian hukum kasus ini masih terbuka, terutama jika ada pihak yang mengajukan gugatan baru atau membawa kasus ini ke ranah hukum yang berbeda. Namun, mengingat kompleksitas kasus dan keterlibatan tokoh-tokoh politik berpengaruh, proses hukum yang transparan dan objektif mungkin sulit dicapai dalam waktu dekat.
Terlepas dari bagaimana kasus ini akan berakhir, dampak jangka panjangnya terhadap karir politik Jokowi dan dinamika politik nasional tidak bisa diabaikan. Kontroversi ini dapat menjadi catatan sejarah yang mewarnai legacy Jokowi sebagai presiden, sekaligus menjadi pembelajaran tentang pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam dunia politik Indonesia.