Pemilik Percetakan Perdana Terancam Dipanggil Pengadilan: Kontroversi Teknologi Modern pada Skripsi Jokowi Tahun 1985

Foto Skripsi Jokowi yang diduga palsu

6tv.info - Kontroversi seputar keaslian skripsi mantan Presiden Joko Widodo kembali mencuat setelah ahli digital forensik, Rismon Sianipar, menyoroti penggunaan teknologi percetakan yang dinilai terlalu canggih untuk standar tahun 1985. Pemilik Percetakan Perdana, tempat skripsi tersebut dicetak, kini terancam dipanggil ke pengadilan atas laporan dugaan pemalsuan dokumen akademik yang telah diajukan ke Bareskrim dan Pengadilan Perdata Jakarta.

Rismon Sianipar melalui akun media sosialnya menegaskan, "Pemilik percetakan Perdana, siap-siap Anda akan dipanggil ke pengadilan atas laporan skripsi palsu ke Bareskrim dan pengadilan perdata Jakarta." Pernyataan tersebut muncul setelah adanya keraguan terhadap hasil uji forensik yang dilakukan Bareskrim Polri terhadap dokumen skripsi Jokowi.

Titik utama kontroversi terletak pada lembar pengesahan skripsi Jokowi yang menurut Rismon menggunakan teknologi sangat modern yang tidak lazim digunakan pada tahun 1985. Ia menantang pemilik percetakan untuk membuktikan dan merekonstruksi proses pembuatan lembar pengesahan tersebut dengan teknologi yang tersedia di masa itu.

Meskipun Bareskrim Polri telah menghentikan penyelidikan terkait dugaan ijazah palsu Jokowi pada 22 Mei 2025 lalu dengan kesimpulan bahwa dokumen tersebut asli, sejumlah pihak masih meragukan hasil tersebut. Penyidik Bareskrim menyatakan telah melakukan uji laboratorium forensik terhadap ijazah dan skripsi Jokowi dengan membandingkannya dengan dokumen serupa dari mahasiswa seangkatannya.

Kontroversi ini semakin menarik perhatian publik karena menyangkut kredibilitas akademik mantan presiden dan kemampuan teknologi percetakan di Indonesia pada dekade 1980-an. Pertanyaan mengenai bagaimana sebuah percetakan di era tersebut mampu menghasilkan dokumen dengan kualitas yang dipertanyakan menjadi fokus perdebatan.

Kronologi Laporan Skripsi Palsu ke Bareskrim

Kasus ini bermula ketika Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) melaporkan dugaan pemalsuan ijazah Jokowi ke Bareskrim Polri beberapa bulan lalu. Laporan tersebut kemudian berkembang menjadi penyelidikan menyeluruh terhadap seluruh dokumen akademik Jokowi, termasuk skripsi berjudul "Studi tentang Pola Konsumsi Kayu Lapis pada Pemakaian Akhir di Kotamadya Surakarta" yang diselesaikannya pada tahun 1985.

Dalam proses penyelidikan, Bareskrim Polri memeriksa 39 saksi dari berbagai pihak, termasuk pelapor, pihak Universitas Gadjah Mada (UGM), alumni Fakultas Kehutanan UGM periode 1982-1988, staf percetakan Perdana, hingga staf SMA Negeri 6 Surakarta. Penyidik juga mengunjungi 13 lokasi untuk mengumpulkan bukti dan dokumen terkait.

Bukti yang diajukan pelapor berupa fotokopi ijazah Jokowi yang diduga memiliki kejanggalan pada format dan kualitas cetakannya. Mereka mempertanyakan bagaimana dokumen tersebut bisa memiliki kualitas cetakan yang sangat baik dengan teknologi percetakan yang tersedia pada tahun 1985.

Pihak Jokowi melalui kuasa hukumnya menanggapi laporan tersebut dengan menyerahkan dokumen asli ijazah dan skripsi untuk diuji secara forensik. Namun, Jokowi meminta agar dokumen asli ijazahnya tidak ditampilkan ke publik kecuali diperlukan untuk kepentingan hukum atau persidangan.

Proses penyelidikan awal oleh Bareskrim melibatkan Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) yang melakukan uji laboratoris terhadap dokumen-dokumen tersebut. Hasilnya, penyidik menyimpulkan bahwa ijazah dan skripsi Jokowi identik dengan dokumen pembanding dari mahasiswa seangkatannya.

"Pemilik percetakan Perdana, siap-siap Anda akan dipanggil ke pengadilan atas laporan skripsi palsu ke Bareskrim dan pengadilan perdata Jakarta. Anda harus membuktikan dan merekonstruksi lembar pengesahan skripsi Jokowi yang menggunakan teknologi sangat modern di tahun 1985!" - Rismon Sianipar, Ahli Digital Forensik

Kontroversi Teknologi Percetakan Tahun 1985

Teknologi percetakan yang umum digunakan di Indonesia pada tahun 1985 masih sangat terbatas dibandingkan dengan era digital saat ini. Mesin ketik manual dan elektronik menjadi perangkat utama untuk menyusun dokumen tertulis, sementara teknik cetak yang umum digunakan adalah letterpress, offset, dan stensil.

Menurut hasil penyelidikan Bareskrim, skripsi Jokowi ditulis menggunakan mesin ketik dengan tipe huruf Pica, sedangkan lembar pengesahannya dicetak dengan teknik letterpress. Teknik letterpress ditandai dengan permukaan tulisan yang cekung atau tidak rata saat diraba, yang sesuai dengan keterangan pemilik percetakan saat itu.

Namun, Rismon Sianipar sebagai ahli digital forensik mempertanyakan kualitas cetakan pada lembar pengesahan yang menurutnya terlalu baik untuk standar teknologi tahun 1985. Ia menyebut bahwa teknologi yang digunakan sangat modern untuk ukuran masa itu, sehingga menimbulkan keraguan tentang keaslian dokumen tersebut.

Beberapa pakar percetakan independen menjelaskan bahwa pada tahun 1980-an, teknologi percetakan kualitas tinggi memang sudah ada di Indonesia, tetapi penggunaannya sangat terbatas dan umumnya hanya dimiliki oleh percetakan-percetakan besar di kota-kota besar. Percetakan kecil seperti Perdana yang berlokasi di Kecamatan Ngemplak, Yogyakarta, dipertanyakan apakah memiliki akses ke teknologi tersebut.

Perbandingan dengan dokumen akademik lain dari era yang sama menunjukkan variasi kualitas cetakan yang signifikan. Beberapa dokumen memiliki kualitas cetakan yang lebih rendah dengan ketidakrataan tinta dan ketidakpresisian huruf, sementara dokumen lain memiliki kualitas yang lebih baik meskipun masih menunjukkan karakteristik teknologi percetakan era tersebut.

Tantangan Rekonstruksi Lembar Pengesahan

Salah satu tantangan terbesar dalam kasus ini adalah upaya untuk merekonstruksi proses pembuatan lembar pengesahan skripsi Jokowi dengan teknologi yang tersedia pada tahun 1985. Kesulitan utama adalah menemukan peralatan asli yang digunakan oleh Percetakan Perdana saat itu, mengingat percetakan tersebut dikabarkan sudah tidak beroperasi dan telah berubah fungsi.

Menurut informasi yang beredar, Percetakan Perdana yang dikaitkan dengan skripsi Jokowi berlokasi di Kecamatan Ngemplak, Yogyakarta. Namun, sejauh ini belum ada keterangan resmi mengenai alamat pasti percetakan tersebut, sehingga menyulitkan proses penelusuran dan rekonstruksi.

Pemilik Percetakan Perdana sendiri belum memberikan pernyataan resmi terkait tantangan yang dilemparkan oleh Rismon Sianipar. Keberadaan dan identitas pemilik percetakan tersebut juga belum diketahui secara pasti, meskipun Bareskrim menyebut telah memeriksa satu orang dari pihak percetakan dalam proses penyelidikan.

Bukti forensik yang ditemukan Bareskrim menunjukkan bahwa lembar pengesahan skripsi Jokowi dicetak menggunakan teknik letterpress. Teknik ini memang umum digunakan pada masa itu, namun kualitas cetakan yang dihasilkan menjadi poin yang dipertanyakan oleh pihak yang meragukan keaslian dokumen tersebut.

Beberapa ahli independen menyatakan bahwa rekonstruksi proses percetakan dari era 1980-an membutuhkan tidak hanya peralatan yang sama, tetapi juga keterampilan teknis yang mungkin sudah langka di era digital saat ini. Hal ini menambah kompleksitas tantangan yang dihadapi pemilik percetakan jika benar-benar dipanggil ke pengadilan.

Proses Hukum di Pengadilan Perdata Jakarta

Meskipun Bareskrim telah menghentikan penyelidikan pidana terkait kasus ini, ancaman gugatan perdata terhadap pemilik Percetakan Perdana masih mengambang. Dasar gugatan perdata yang kemungkinan diajukan adalah dugaan keterlibatan dalam pembuatan dokumen yang tidak sesuai dengan fakta atau teknologi yang tersedia pada masanya.

Tuntutan yang mungkin diajukan dalam gugatan perdata tersebut bisa berupa permintaan ganti rugi immaterial atas pencemaran nama baik atau tuntutan untuk membuktikan proses pembuatan dokumen dengan teknologi yang sesuai dengan era 1985. Gugatan perdata tidak memerlukan unsur pidana, melainkan cukup dengan adanya perbuatan yang merugikan pihak lain.

Posisi hukum pemilik percetakan dalam kasus ini cukup kompleks. Di satu sisi, jika terbukti bahwa dokumen tersebut memang dibuat pada tahun 1985 dengan teknologi yang tersedia saat itu, maka gugatan dapat ditolak. Namun, jika tidak mampu membuktikan hal tersebut, pemilik percetakan bisa dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Kemungkinan hasil persidangan sangat bergantung pada bukti-bukti yang dihadirkan oleh kedua belah pihak. Jika pemilik percetakan mampu menunjukkan bahwa teknologi yang digunakan memang tersedia dan digunakan pada tahun 1985, maka gugatan dapat ditolak. Sebaliknya, jika tidak mampu membuktikannya, pengadilan mungkin akan memenangkan penggugat.

Kasus ini juga memiliki implikasi hukum yang lebih luas, terutama terkait dengan batas waktu gugatan atau daluwarsa. Mengingat dokumen tersebut dibuat hampir 40 tahun lalu, pertanyaan tentang apakah gugatan perdata masih dapat diajukan menjadi poin penting yang perlu dipertimbangkan oleh pengadilan.

Bukti Forensik dan Keterangan Saksi

Hasil uji laboratorium forensik yang dilakukan Puslabfor Bareskrim Polri menjadi bukti utama dalam kasus ini. Menurut keterangan Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro, ijazah dan skripsi Jokowi telah diuji secara laboratoris dan hasilnya identik dengan dokumen pembanding dari mahasiswa seangkatannya.

Keterangan dari 39 saksi yang diperiksa Bareskrim juga menjadi pertimbangan penting dalam penghentian penyelidikan pidana. Para saksi tersebut berasal dari berbagai pihak, termasuk pelapor, pihak UGM, alumni Fakultas Kehutanan UGM, staf percetakan, hingga staf sekolah menengah Jokowi.

Dokumen pembanding yang digunakan dalam uji forensik meliputi tiga ijazah milik rekan-rekan seangkatan Jokowi di Fakultas Kehutanan UGM. Uji pembanding tersebut mencakup berbagai aspek, mulai dari bahan kertas, fitur pengaman kertas, teknik pencetakan, tinta tulisan, hingga cap stempel dan tinta tanda tangan milik dekan serta rektor saat itu.

Temuan penting dari penyelidikan Bareskrim adalah fakta bahwa skripsi Jokowi telah didigitalisasi pada 2016 dan diunggah pada 2019. Data digital ini ditemukan pada aplikasi elektronik Pusat Teknologi Digital UGM, serta basis data yang dikoleksi oleh admin perpustakaan UGM. Aplikasi ini dipakai oleh manajemen UGM sejak 2010.

Analisis teknis terhadap lembar pengesahan skripsi menunjukkan bahwa dokumen tersebut dicetak menggunakan teknik letterpress, yang ditandai dengan permukaan tulisan yang cekung atau tidak rata saat diraba. Hal ini sesuai dengan keterangan dari pemilik percetakan saat itu.

"Terhadap uji labfor tersebut bersesuaian dengan keterangan dari pemilik percetakan saat itu sehingga terjawab tidak ada proses cetak menggunakan alat lain selain mesin ketik dan alat cetak hand press atau letterpress," - Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri

Implikasi Hukum bagi Pemilik Percetakan

Potensi sanksi hukum yang dihadapi pemilik Percetakan Perdana jika terbukti terlibat dalam pemalsuan dokumen cukup serius. Dalam ranah perdata, sanksi dapat berupa kewajiban membayar ganti rugi materiil dan immaterial kepada pihak yang dirugikan. Namun, mengingat kasus ini telah berlangsung sangat lama, aspek daluwarsa menjadi pertimbangan penting.

Dalam sistem hukum Indonesia, prinsip pembuktian terbalik tidak berlaku dalam perkara perdata. Artinya, pihak penggugat yang harus membuktikan bahwa pemilik percetakan telah melakukan perbuatan melawan hukum. Namun, pemilik percetakan tetap perlu menunjukkan bukti bahwa teknologi yang digunakan untuk mencetak dokumen tersebut memang tersedia dan digunakan pada tahun 1985.

Aspek hukum pemalsuan dokumen dalam kasus ini menjadi kompleks karena melibatkan dokumen yang dibuat hampir 40 tahun lalu. Jika terbukti ada pemalsuan, pertanyaan tentang siapa yang bertanggung jawab—apakah pemilik percetakan, pihak yang meminta pembuatan dokumen, atau pihak lain—menjadi poin krusial yang perlu diklarifikasi.

Daluwarsa kasus juga menjadi pertimbangan penting dalam gugatan perdata. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, gugatan perdata umumnya memiliki masa daluwarsa 30 tahun. Mengingat dokumen tersebut dibuat pada tahun 1985, atau sekitar 40 tahun lalu, pertanyaan tentang apakah gugatan masih dapat diajukan menjadi perdebatan hukum yang menarik.

Preseden hukum serupa yang melibatkan dokumen lama dan teknologi percetakan masih sangat terbatas di Indonesia. Hal ini membuat kasus ini potensial menjadi preseden penting dalam sistem hukum Indonesia, terutama terkait dengan pembuktian keaslian dokumen lama dan tanggung jawab pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatannya.

Kesimpulan dan Perkembangan Terkini

Status kasus terbaru menunjukkan bahwa meskipun Bareskrim telah menghentikan penyelidikan pidana dengan kesimpulan bahwa ijazah dan skripsi Jokowi asli, kontroversi masih berlanjut dengan adanya ancaman gugatan perdata terhadap pemilik Percetakan Perdana. Perkembangan kasus ini masih perlu diikuti, terutama apakah gugatan perdata benar-benar akan diajukan.

Tanggapan dari berbagai pihak terkait kasus ini cukup beragam. Pihak Jokowi melalui kuasa hukumnya menegaskan bahwa hasil penyelidikan Bareskrim telah membuktikan keaslian dokumen tersebut. Sementara itu, pihak yang meragukan keaslian dokumen, termasuk Rismon Sianipar, tetap bersikeras bahwa ada kejanggalan pada teknologi yang digunakan untuk mencetak lembar pengesahan skripsi.

Dampak sosial dan politik dari kontroversi ini cukup signifikan, terutama karena menyangkut kredibilitas akademik mantan presiden. Kasus ini juga menimbulkan perdebatan publik tentang pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam dunia akademik dan politik, serta bagaimana teknologi dapat digunakan untuk memverifikasi keaslian dokumen lama.

Kemungkinan penyelesaian kasus ini sangat bergantung pada apakah gugatan perdata benar-benar diajukan dan bagaimana proses pembuktian di pengadilan nantinya. Jika gugatan diajukan, proses persidangan dapat menjadi ajang untuk mengklarifikasi berbagai pertanyaan tentang teknologi percetakan yang digunakan pada tahun 1985 dan keaslian dokumen yang dipermasalahkan.

Pelajaran penting dari kontroversi ini adalah pentingnya dokumentasi dan preservasi teknologi serta praktik-praktik di masa lalu. Kasus ini juga menunjukkan bagaimana kemajuan teknologi forensik modern dapat digunakan untuk menyelidiki keaslian dokumen lama, meskipun tetap ada batasan-batasan yang perlu diakui.

"Dalam kasus gugatan perdata terkait dokumen lama seperti ini, aspek daluwarsa dan kemampuan para pihak untuk menghadirkan bukti-bukti yang relevan menjadi faktor krusial yang akan menentukan hasil persidangan," - Pakar Hukum Perdata

أحدث أقدم