Mahfud MD: Usulan Pemakzulan Wapres Gibran oleh Purnawirawan TNI Sah dan Punya Argumentasi Hukum Kuat
6tv.info - Pakar hukum tata negara Mahfud MD baru-baru ini memberikan pandangan menarik yang menjadi sorotan publik. mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini menilai langkah Forum Purnawirawan Prajurit TNI yang mengirimkan surat resmi ke DPR dan MPR RI untuk mengusulkan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka merupakan tindakan yang sah secara konstitusional dan mencerminkan etika berdemokrasi yang elegan. Pernyataan ini tentu menambah dinamika politik terkait isu pemberhentian Wapres yang belakangan menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan.
Hal tersebut disampaikan Mahfud saat menjawab pertanyaan host podcast Terus Terang Mahfud MD, Rizal Mustary, yang menanyakan pendapatnya tentang langkah purnawirawan prajurit TNI yang mengirimkan surat usulan pemakzulan terhadap Wapres Gibran ke DPR-MPR. Dalam podcast yang tayang di kanal YouTube @Mahfud MD Official tersebut, pakar hukum tata negara ini memberikan analisis mendalam dari perspektif konstitusional.
"Menurut saya benar, dan itu lebih elegan ya karena dilakukan tidak secara sembunyi-sembunyi dengan kasak-kusuk yang tidak sehat, tapi dinyatakan secara resmi," ujar Mahfud dalam podcast yang berjudul "Bisakah Wapres Jatuh di Tengah Jalan? Bisa!" tersebut. Pernyataan ini menegaskan dukungannya terhadap transparansi dalam proses demokrasi, termasuk dalam mengajukan kritik terhadap pejabat publik.
Mahfud juga mengingatkan bahwa para purnawirawan TNI yang tergabung dalam forum tersebut tetap memiliki hak politik sebagai warga negara, termasuk menyampaikan aspirasi terkait jalannya pemerintahan. Menurutnya, para pensiunan TNI itu tidak harus selalu sejalan dengan institusi militer tempat mereka pernah bertugas. "Mereka memang purnawirawan TNI, mereka memang anggota forum angkatan atau mantra di TNI, tetapi mereka tidak harus sama dengan induknya dalam menggunakan hak politik ini," jelas mantan Menko Polhukam tersebut.
Lebih lanjut, Mahfud menekankan bahwa dalam urusan politik, purnawirawan bisa bersikap mandiri dan bertindak berdasarkan penilaian mereka sendiri terhadap kondisi negara. "Mungkin dalam hal-hal yang sifatnya umum atau dalam hal-hal tertentu mereka bisa sama, tetapi kalau menyangkut hal politik, mereka bisa berbuat sendiri. Dan itu sah," tambahnya, menegaskan legitimasi tindakan Forum Purnawirawan dalam mengajukan usulan impeachment Wakil Presiden.
Argumentasi Hukum Kuat di Balik Usulan Pemakzulan Gibran
Tidak hanya menyoroti aspek prosedural, Mahfud MD juga memberikan penilaian substantif terhadap usulan pemakzulan tersebut. Ia menyatakan bahwa Forum Purnawirawan TNI memiliki dasar argumentasi hukum yang kuat dalam mengajukan proses pemberhentian Wapres Gibran. "Menurut saya argumentasi hukumnya kuat, ya, karena apa? Karena untuk kalau, istilah konstitusi itu ya Pasal 7A, hasil amendemen Presiden dan atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya apabila diduga terlibat lima hal," jelasnya dalam podcast tersebut.
Mahfud kemudian merinci lima alasan konstitusional yang dapat menjadi dasar pemakzulan pejabat negara sesuai Pasal 7A UUD 1945. Menurutnya, ada empat pelanggaran hukum dan satu kategori perbuatan tercela, ditambah satu alasan keadaan tertentu yang menyebabkan pejabat tak lagi memenuhi syarat jabatan. "Apa saja itu? Satu, melakukan pengkhianatan terhadap negara; kedua, terlibat korupsi; penyuapan; kemudian kejahatan berat. Kejahatan berat itu biasanya disamakan dengan kejahatan yang diancam dengan lima tahun penjara ke atas. Lalu, perbuatan tercela, dan satu lagi soal keadaan," papar pakar hukum tata negara tersebut.
Fleksibilitas "Perbuatan Tercela" dalam Proses Pemakzulan
Dalam penjelasannya, Mahfud menekankan bahwa kategori "perbuatan tercela" dalam konteks pemakzulan bersifat fleksibel dan sangat dipengaruhi oleh penilaian politik serta konteks sosial yang berlaku. Untuk memberikan gambaran konkret, ia mencontohkan kasus pencopotan jabatan Perdana Menteri Thailand yang dianggap mencederai martabat jabatan hanya karena mengikuti lomba masak.
"Perbuatan tercela itu ya sesuatu yang dapat merendahkan martabat, perilaku, tutur kata. Kepala pemerintahan di Thailand dulu dipecat karena dianggap tercela hanya karena ikut lomba masak dan menang. Padahal dia baru menang pemilu," ungkap Mahfud, menunjukkan betapa relatifnya interpretasi perbuatan tercela dalam konteks politik. Contoh ini menegaskan bahwa standar "tercela" sangat bergantung pada ekspektasi publik dan norma politik yang berlaku di suatu negara.
Selain perbuatan tercela, Mahfud juga menjelaskan tentang kategori "keadaan" dalam Pasal 7A yang dapat menjadi dasar pemberhentian dalam masa jabatan. Menurutnya, kategori ini mencakup kondisi seperti kehilangan kewarganegaraan, sakit permanen, atau menyatakan mengundurkan diri. "Misalnya tidak memenuhi syarat lagi sebagai presiden atau wakil presiden, apa misalnya? Sakit permanen yang (disampaikan) oleh dokter, atau kehilangan kewarganegaraan, atau malah minta berhenti," imbuh mantan Ketua MK tersebut.
Etika Berdemokrasi dalam Usulan Pemakzulan Wapres
Mahfud MD juga mengapresiasi cara penyampaian aspirasi Forum Purnawirawan TNI yang dianggapnya lebih sehat dan terbuka ketimbang lewat cara-cara provokatif di media sosial. Ia membandingkan langkah resmi yang ditempuh forum tersebut dengan fenomena penyebaran konten provokatif tanpa sumber jelas yang kerap terjadi di platform digital.
"Daripada bikin semacam video atau TikTok atau apapun yang tidak jelas sumbernya, provokatif, lebih baik begini, masuk dan itu harus direspons secara positif," kata Mahfud. Pernyataan ini menekankan pentingnya jalur formal dan transparan dalam menyampaikan kritik politik, terutama yang menyangkut usulan seserius pemecatan Wakil Presiden.
"Justru kita menegaskan bahwa negara kita negara demokrasi, artinya memberi kesempatan kepada siapapun untuk mengajukan aspirasinya, untuk merebut jabatan-jabatan publik, untuk mengkritik dan memberi arah terhadap jalannya pemerintahan, itu dibuka di dalam demokrasi," imbuh Mahfud.
Menurut Mahfud, sikap Forum Purnawirawan tersebut mencerminkan prinsip negara demokrasi yang memberikan ruang kebebasan kepada rakyat untuk mengajukan kritik, aspirasi, bahkan usulan terhadap perubahan jabatan publik. Ia menekankan bahwa keterbukaan semacam ini justru memperkuat sistem demokrasi, bukan melemahkannya.
Dinamika Politik di Balik Proses Pemakzulan
Meski mengakui kuatnya dasar hukum dalam usulan pemakzulan Gibran, Mahfud mengingatkan bahwa proses pemberhentian dalam masa jabatan tetap akan bergantung pada dinamika politik di parlemen. Ia menegaskan bahwa hukum, pada akhirnya, adalah produk politik yang implementasinya sangat dipengaruhi oleh konstelasi kekuatan politik yang ada.
"Secara hukum memang ada alasan, tetapi dipersulit karena ada syarat-syarat yang berat. Tetapi karena hukum adalah produk politik, yang sulit itu pun kalau situasi politik berubah bisa jadi mudah melakukannya," kata Mahfud. Pernyataan ini menunjukkan realisme politik yang dimiliki Mahfud sebagai seorang yang berpengalaman dalam dunia hukum dan politik Indonesia.
Latar Belakang Surat Usulan Pemakzulan oleh Forum Purnawirawan TNI
Untuk memberikan konteks yang lebih lengkap, perlu diketahui bahwa Forum Purnawirawan Prajurit TNI telah mengirim surat berisi desakan pemakzulan Gibran kepada pimpinan DPR, MPR, dan DPD RI. Surat bertanggal 26 Mei 2025 tersebut ditandatangani oleh empat purnawirawan jenderal TNI dengan pangkat tinggi, yakni Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, dan Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto.
Dalam surat tersebut, Forum Purnawirawan Prajurit TNI menyoroti bahwa Gibran memperoleh tiket pencalonan melalui putusan MK yang dinilai cacat hukum, yaitu Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Mereka berpendapat bahwa putusan tersebut melanggar prinsip imparsialitas karena diputus oleh Ketua MK saat itu, yakni Anwar Usman, yang merupakan paman Gibran. Kritik ini menyoroti adanya konflik kepentingan yang menurut mereka mencederai legitimasi pencalonan Gibran sebagai Wakil Presiden.
Selain aspek hukum, Forum Purnawirawan TNI juga menilai Gibran tidak pantas menjabat sebagai Wakil Presiden dari sisi kepatutan dan etika. "Dengan kapasitas dan pengalaman yang sangat minim, hanya dua tahun menjabat Wali Kota Solo, serta latar belakang pendidikan yang diragukan, sangat naif bagi negara ini memiliki Wakil Presiden yang tidak patut dan tidak pantas," demikian kutipan dari surat tersebut. Kritik ini menyoroti kualifikasi dan pengalaman Gibran yang dianggap belum memadai untuk jabatan setinggi Wakil Presiden.
Implikasi dan Prospek Usulan Pemakzulan Wapres Gibran
Meski usulan pemakzulan telah diajukan secara resmi, proses konstitusional untuk memberhentikan seorang Wakil Presiden dalam masa jabatannya tidaklah mudah. Sesuai mekanisme yang diatur dalam UUD 1945, usulan pemakzulan harus melalui proses panjang yang melibatkan DPR, Mahkamah Konstitusi, dan MPR dengan persyaratan dukungan suara yang sangat tinggi.
Dalam konteks politik saat ini, dinamika kekuatan di parlemen akan sangat menentukan nasib usulan pemakzulan tersebut. Koalisi pendukung pemerintah yang masih solid kemungkinan besar akan menjadi benteng pertahanan bagi posisi Gibran. Beberapa pengamat politik bahkan menyebut bahwa Presiden Prabowo Subianto diprediksi akan melindungi Wakil Presidennya dari desakan pemakzulan ini.
Di sisi lain, mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie telah menyatakan bahwa seruan pemakzulan Gibran hanyalah ekspresi kemarahan dan realisasinya sangat tidak mungkin dalam kondisi politik saat ini. Sementara itu, Presiden sebelumnya, Jokowi, yang juga ayah dari Gibran, telah mengingatkan bahwa pemilihan presiden kemarin adalah satu paket, mengisyaratkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat dipisahkan begitu saja.
Terlepas dari prospek keberhasilannya, usulan pemakzulan ini telah membuka ruang diskusi publik yang lebih luas tentang standar etika dan kualifikasi pejabat publik, khususnya untuk posisi setinggi Wakil Presiden. Ini juga menjadi momentum penting untuk menguji kematangan demokrasi Indonesia dalam menangani perbedaan pendapat politik melalui jalur konstitusional yang tersedia.
Sebagai penutup, pernyataan Mahfud MD tentang legalitas dan argumentasi kuat di balik usulan pemakzulan Wapres Gibran oleh Forum Purnawirawan TNI memberikan perspektif hukum yang penting dalam perdebatan politik ini. Terlepas dari hasil akhirnya nanti, proses ini menunjukkan bahwa mekanisme checks and balances dalam sistem demokrasi Indonesia terus berjalan, dan setiap warga negara, termasuk para purnawirawan TNI, memiliki hak untuk berpartisipasi dalam mengawal jalannya pemerintahan melalui cara-cara yang konstitusional dan elegan.