Jokowi Ungkap 3 Syarat Pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden: Perbuatan Pidana, Pelanggaran Berat, dan Perbuatan Tercela

Foto Joko Widodo

6tv.info - Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) berpandangan bahwa pemakzulan presiden atau wakil presiden hanya dapat dilakukan jika terbukti melakukan tiga hal: perbuatan pidana, pelanggaran berat, dan perbuatan tercela. Pernyataan ini disampaikan Jokowi di Solo, Jawa Tengah, pada Jumat (6/6/2025), sebagai tanggapan atas sorotan publik dan media terkait surat yang dikirimkan Forum Purnawirawan Prajurit TNI kepada pimpinan DPR, MPR, dan DPD RI yang mendesak agar Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dimakzulkan.

Menanggapi desakan pemakzulan terhadap putranya yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden, Jokowi menyampaikan pandangannya dengan tenang dan tegas. "Bahwa pemakzulan itu harus presiden atau wakil presiden, misalnya korupsi, atau melakukan perbuatan tercela, atau melakukan pelanggaran berat. Itu baru," kata Jokowi saat ditemui wartawan di Solo. Pernyataan ini secara tidak langsung menegaskan bahwa proses pemberhentian pejabat tinggi negara tidak bisa dilakukan sembarangan dan harus memenuhi syarat-syarat konstitusional yang jelas.

Mantan Wali Kota Solo ini juga menyatakan bahwa desakan pemakzulan yang muncul belakangan ini merupakan bagian dari dinamika demokrasi yang lumrah terjadi dalam sistem politik terbuka. "Itu dinamika demokrasi kita. Biasa saja. Biasa. Dinamika demokrasi kan ya seperti itu," tambahnya dengan nada santai namun penuh keyakinan. Sikap ini menunjukkan kedewasaan politik Jokowi dalam menghadapi berbagai tekanan dan kritik yang ditujukan kepada pemerintahan maupun keluarganya.

Lebih lanjut, Jokowi menekankan pentingnya mengikuti sistem ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia dalam menanggapi isu impeachment atau pencopotan jabatan Wakil Presiden Gibran. "Ya negara ini kan negara besar yang memiliki sistem ketatanegaraan. Ya diikuti saja proses sesuai ketatanegaraan kita," ujar Jokowi. Pernyataan ini menegaskan komitmennya terhadap proses konstitusional dan menghormati mekanisme yang telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Jokowi juga mengingatkan bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden di Indonesia dilakukan dalam satu paket, tidak seperti di beberapa negara lain yang memilih kedua jabatan tersebut secara terpisah. "Pemilihan presiden kemarin kan satu paket. Bukan sendiri-sendiri. Di Filipina itu sendiri-sendiri. Di kita ini kan satu paket. Ya memang mekanismenya seperti itu," jelasnya. Hal ini secara tidak langsung menyiratkan bahwa penghentian masa jabatan wakil presiden tidak bisa dilakukan secara terpisah dari presiden tanpa alasan yang sangat kuat dan sesuai dengan ketentuan konstitusi.

Tiga Syarat Pemakzulan Menurut Jokowi

Dalam pernyataannya, Presiden Jokowi secara jelas menyebutkan tiga syarat yang dapat menjadi dasar pemberhentian presiden atau wakil presiden dari jabatannya. Syarat pertama adalah terbukti melakukan perbuatan pidana, khususnya korupsi. Korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 7A UUD 1945 sebagai alasan yang dapat digunakan untuk memakzulkan presiden atau wakil presiden. Tindakan korupsi dianggap sebagai pengkhianatan terhadap amanah rakyat dan dapat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Syarat kedua yang disebutkan Jokowi adalah pelanggaran berat. Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, pelanggaran berat dapat mencakup pengkhianatan terhadap negara dan tindak pidana berat lainnya sebagaimana tercantum dalam konstitusi. Pengkhianatan terhadap negara dapat berupa tindakan makar, bekerjasama dengan negara asing untuk merugikan Indonesia, atau tindakan lain yang mengancam kedaulatan negara. Sementara tindak pidana berat lainnya dapat mencakup kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, atau kejahatan luar biasa lainnya yang diatur dalam hukum positif Indonesia.

Syarat ketiga adalah perbuatan tercela. Kategori ini memiliki definisi yang lebih luas dan dapat mencakup tindakan-tindakan yang meskipun tidak selalu melanggar hukum secara pidana, namun dianggap tidak pantas dilakukan oleh seorang kepala negara atau wakilnya. Perbuatan tercela dapat berupa pelanggaran etika, moral, atau norma sosial yang berlaku di masyarakat. Meskipun definisinya cenderung subjektif, penilaian terhadap perbuatan tercela dalam konteks pemakzulan tetap harus melalui mekanisme konstitusional yang melibatkan DPR, MK, dan MPR.

"Bahwa pemakzulan itu harus presiden atau wakil presiden, misalnya korupsi, atau melakukan perbuatan tercela, atau melakukan pelanggaran berat. Itu baru."

Ketiga syarat yang disebutkan Jokowi ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 7A UUD 1945 yang mengatur bahwa "Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden."

Mekanisme Pemakzulan dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Proses impeachment atau pemberhentian presiden dan wakil presiden di Indonesia diatur secara rinci dalam UUD 1945, khususnya pada Pasal 7A dan 7B. Mekanisme ini dirancang dengan sistem checks and balances yang melibatkan tiga lembaga negara: DPR, MK, dan MPR. Proses ini dibuat tidak mudah untuk menjaga stabilitas pemerintahan dan mencegah pemakzulan yang didasari oleh motif politik semata.

Langkah pertama dalam proses penghentian masa jabatan presiden atau wakil presiden dimulai dari DPR. Menurut Pasal 7B ayat (1) UUD 1945, usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR, namun harus terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A.

Pengajuan permintaan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR. Ini menunjukkan bahwa untuk memulai proses pemakzulan, diperlukan dukungan yang signifikan dari anggota parlemen, tidak bisa hanya dari segelintir orang atau kelompok politik tertentu.

Setelah menerima permintaan dari DPR, MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lama 90 hari setelah permintaan diterima. Jika MK memutuskan bahwa presiden dan/atau wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian kepada MPR.

MPR kemudian wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lama 30 hari sejak menerima usul. Keputusan MPR atas usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden harus diambil dalam rapat paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah presiden dan/atau wakil presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan.

Latar Belakang Desakan Pemakzulan Wakil Presiden Gibran

Isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mencuat setelah Forum Purnawirawan Prajurit TNI mengirimkan surat bertanggal 26 Mei 2025 kepada pimpinan lembaga legislatif. Surat tersebut berisi desakan agar DPR, MPR, dan DPD segera memproses pemberhentian Gibran dari jabatannya sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia.

Surat desakan pemakzulan tersebut ditandatangani oleh empat jenderal purnawirawan terkemuka, yakni Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, dan Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto. Keempat tokoh ini merupakan figur senior di lingkungan militer yang memiliki pengaruh cukup signifikan di kalangan purnawirawan TNI.

Dalam suratnya, Forum Purnawirawan TNI menilai bahwa Gibran mendapatkan tiket pencalonan melalui putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, yang mereka sebut cacat hukum karena diputus oleh Anwar Usman, paman Gibran yang saat itu menjabat sebagai Ketua MK. "Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 terhadap pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu seharusnya batal demi hukum karena Anwar Usman tidak mengundurkan diri dari majelis hakim, padahal memiliki konflik kepentingan," tulis mereka dalam surat tersebut.

Forum tersebut juga mengutip putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang menyatakan Anwar Usman telah melanggar kode etik dan diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua MK. Selain aspek hukum, forum juga menilai bahwa dari sisi etika dan kepatutan, Gibran tidak layak menjabat sebagai Wakil Presiden karena proses pencalonannya dianggap melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan.

Tanggapan Jokowi Terhadap Isu Pemakzulan Gibran

Menanggapi desakan pemakzulan terhadap putranya, Jokowi menekankan bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden di Indonesia dilakukan dalam satu paket, tidak seperti di beberapa negara lain yang memilih kedua jabatan tersebut secara terpisah. "Pemilihan presiden kemarin kan satu paket. Bukan sendiri-sendiri. Di Filipina itu sendiri-sendiri. Di kita ini kan satu paket. Ya memang mekanismenya seperti itu," jelasnya dengan tenang.

Jokowi juga memandang bahwa desakan pemakzulan yang muncul merupakan bagian dari dinamika demokrasi yang wajar terjadi dalam sistem politik terbuka. Ia menyatakan, "Itu dinamika demokrasi kita. Biasa saja. Biasa. Dinamika demokrasi kan ya seperti itu." Pernyataan ini menunjukkan sikap Jokowi yang cenderung melihat isu tersebut sebagai bagian dari proses politik normal yang tidak perlu direspon secara berlebihan.

Meskipun demikian, mantan Gubernur DKI Jakarta ini tetap menekankan pentingnya mengikuti sistem ketatanegaraan yang berlaku. "Ya negara ini kan negara besar yang memiliki sistem ketatanegaraan. Ya diikuti saja proses sesuai ketatanegaraan kita," ujarnya. Pernyataan ini mencerminkan komitmen Jokowi terhadap proses konstitusional dan penghormatan terhadap mekanisme yang telah diatur dalam UUD 1945.

Sejarah Pemakzulan Presiden di Indonesia

Indonesia memiliki catatan sejarah terkait proses penghentian masa jabatan presiden sebelum masa jabatannya berakhir. Kasus pertama terjadi pada tahun 1967 ketika Presiden Soekarno diberhentikan dari jabatannya melalui Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967. Meskipun saat itu istilah pemakzulan belum populer digunakan, proses tersebut pada dasarnya merupakan pemberhentian presiden dari jabatannya. Soekarno diberhentikan setelah memberikan pertanggungjawaban terkait berbagai peristiwa politik yang terjadi, termasuk G30S/PKI dan kondisi ekonomi yang memburuk.

Kasus kedua terjadi pada tahun 2001 ketika Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) diberhentikan melalui Sidang Istimewa MPR. Gus Dur diberhentikan karena dianggap melanggar haluan negara terkait kasus Buloggate dan Bruneigate. Proses pemberhentian Gus Dur terjadi sebelum amandemen UUD 1945 yang mengatur mekanisme pemakzulan secara lebih rinci seperti yang berlaku saat ini. Berbeda dengan mekanisme saat ini yang melibatkan MK, pemberhentian Gus Dur dilakukan langsung oleh MPR tanpa proses peradilan konstitusional terlebih dahulu.

Kedua kasus historis ini menunjukkan bahwa Indonesia telah mengalami dinamika politik yang melibatkan pemberhentian presiden, meskipun dengan mekanisme yang berbeda dengan yang diatur dalam UUD 1945 pasca-amandemen. Pengalaman sejarah ini menjadi pembelajaran penting bagi sistem ketatanegaraan Indonesia untuk memastikan bahwa proses pemakzulan dilakukan dengan mekanisme yang lebih terstruktur, adil, dan memiliki dasar hukum yang kuat.

Dengan adanya ketentuan yang lebih jelas dalam UUD 1945 pasca-amandemen, proses impeachment presiden atau wakil presiden saat ini memiliki landasan hukum yang lebih kuat dan mekanisme yang lebih terstruktur. Hal ini mencerminkan perkembangan sistem demokrasi dan ketatanegaraan Indonesia yang semakin matang dalam menghadapi berbagai dinamika politik.

Presiden Jokowi, melalui pernyataannya tentang syarat pemakzulan, menegaskan kembali pentingnya mematuhi ketentuan konstitusional dalam proses politik sekompleks apapun. Pandangannya bahwa presiden atau wakil presiden hanya dapat dimakzulkan jika terbukti melakukan perbuatan pidana, pelanggaran berat, atau perbuatan tercela, sejalan dengan semangat konstitusi untuk menjaga stabilitas pemerintahan dan mencegah pemakzulan yang didasari oleh motif politik semata.

Sebagai penutup, penting untuk dipahami bahwa dalam sistem demokrasi konstitusional seperti Indonesia, proses pemberhentian pejabat tinggi negara harus selalu mengikuti mekanisme yang telah diatur dalam konstitusi. Terlepas dari berbagai dinamika politik yang terjadi, kepatuhan terhadap proses konstitusional merupakan kunci untuk menjaga stabilitas dan keberlangsungan sistem demokrasi di Indonesia.

أحدث أقدم