Mahfud MD Angkat Bicara Soal Isu Ijazah Palsu Jokowi: Tetap Sah Secara Konstitusi?

Mahfud MD

6tv.info - Halo Sobat 6tv! Belakangan ini, jagat politik Indonesia kembali diramaikan oleh isu lama yang muncul kembali: dugaan ijazah palsu yang menyeret nama mantan Presiden Joko Widodo. Nah, yang menarik perhatian kali ini adalah komentar dari tokoh hukum ternama, Mahfud MD, mengenai polemik Mahfud MD ijazah palsu Jokowi ini. Pernyataan beliau sontak menjadi sorotan dan memicu berbagai diskusi hangat di ruang publik. Yuk, kita kupas tuntas pandangan Pak Mahfud dalam artikel ini!


Isu mengenai keaslian ijazah Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, memang bukan barang baru. Sejak beberapa tahun lalu, tudingan ini kerap muncul dan tenggelam, terutama di momen-momen politik tertentu. Berbagai pihak telah mencoba membantah, termasuk klarifikasi resmi dari almamater Jokowi, Universitas Gadjah Mada (UGM), yang menegaskan keabsahan ijazah tersebut. Namun, seperti api dalam sekam, isu ini kembali mencuat dan menjadi perbincangan.


Di tengah riuhnya perdebatan, Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, turut angkat bicara. Dalam sebuah seminar di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) pada akhir April 2025 lalu, beliau menyampaikan pandangan hukumnya yang cukup menarik. Komentar Mahfud MD ini memberikan perspektif baru dalam melihat persoalan dugaan ijazah palsu Jokowi, terutama dari kacamata hukum tata negara dan pidana.


Secara garis besar, Mahfud MD menekankan adanya perbedaan konsekuensi antara aspek pidana dan aspek ketatanegaraan jika isu ijazah palsu ini terbukti benar. Menurutnya, meskipun secara pidana bisa saja ada proses hukum jika terbukti ada pemalsuan atau kebohongan publik, hal tersebut tidak serta-merta menggugurkan keabsahan keputusan-keputusan kenegaraan yang telah diambil Jokowi selama menjabat sebagai presiden. Ini adalah poin krusial yang membedakan dampak hukumnya.


Pernyataan Mahfud MD ini tentu saja mengundang rasa penasaran lebih lanjut. Bagaimana sebenarnya logika hukum yang mendasari pandangannya? Apa implikasinya terhadap stabilitas hukum dan politik di Indonesia? Artikel ini akan mengajak Anda menyelami lebih dalam analisis Mahfud MD, melihat kembali sejarah polemik ijazah Jokowi, serta respons berbagai pihak terkait isu sensitif ini. Mari kita simak bersama ulasan lengkapnya.


Pandangan Hukum Mahfud MD: Pidana vs. Ketatanegaraan

Mari kita bedah lebih dalam pandangan menarik dari Mahfud MD terkait isu dugaan ijazah palsu Jokowi ini. Inti dari argumen beliau terletak pada pemisahan yang jelas antara potensi konsekuensi pidana dan implikasi ketatanegaraan. Mahfud, yang dikenal sebagai pakar hukum tata negara, menjelaskan bahwa sekalipun, secara hipotetis, terjadi pemalsuan dokumen pendidikan, hal itu masuk dalam ranah hukum pidana. Artinya, jika ada bukti kuat mengenai pemalsuan atau kebohongan publik terkait sertifikat kelulusan yang diragukan tersebut, proses hukum pidana bisa saja berjalan terhadap individu yang terlibat.


Namun, dan ini poin pentingnya, Mahfud menegaskan bahwa proses pidana tersebut tidak secara otomatis berdampak pada aspek ketatanegaraan. Keabsahan Joko Widodo sebagai Presiden selama dua periode, beserta seluruh keputusan dan kebijakan yang telah diambilnya, tidak serta-merta gugur hanya karena isu dokumen pribadi ini. "Kalau pidana iya, pidananya bisa, kalau terjadi pemalsuan itu karena kebohongan, kebohongan publik karena pemalsuan itu bisa. Tapi, pidana itu tidak menyangkut ketatanegaraan atau orangnya," ujar Mahfud seperti dikutip dari kanal YouTube resminya. Pandangan ini memberikan perspektif hukum yang menenangkan di tengah potensi kekacauan jika status hukum keputusan presiden dipertanyakan.


"Saya sih tidak peduli, apakah ijazah Pak Jokowi itu asli atau tidak, saya tidak peduli, karena itu tidak akan ada akibatnya terhadap proses ketatanegaraan kita," tegas Mahfud MD.


Logika Hukum Tata Negara di Balik Pernyataan Mahfud

Mengapa Mahfud MD begitu yakin bahwa isu ijazah ini tidak menggoyahkan sendi ketatanegaraan? Jawabannya terletak pada prinsip-prinsip dasar hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Salah satu prinsip fundamental adalah kepastian hukum (legal certainty). Keputusan-keputusan yang telah dibuat secara sah oleh pejabat negara yang berwenang, dalam hal ini Presiden, harus dijamin kepastian hukumnya dan dianggap berlaku. Membatalkan keputusan-keputusan tersebut secara retroaktif hanya karena muncul keraguan terhadap dokumen pribadi presiden akan menciptakan ketidakpastian hukum yang luar biasa.


Mahfud memberikan ilustrasi yang gamblang mengenai potensi kekacauan ini. Bayangkan jika semua keputusan Jokowi dianggap batal hanya karena isu ijazah. Pengangkatan menteri, hakim agung, panglima TNI, Kapolri, hingga perjanjian internasional yang telah ditandatangani menjadi tidak sah. "Kalau betul ijazah Pak Jokowi palsu, lalu ada yang bilang semua keputusannya batal, tidak sah, saya bilang ndak lah, apa hubungannya? Menteri diangkat oleh presiden, terus dianggap tidak sah, kebijakan internasional batal, ya bubar negara ini,” jelas Mahfud. Logika ini menekankan pentingnya menjaga stabilitas dan keberlangsungan negara di atas polemik personal.


Sejarah Polemik Ijazah Jokowi dan Klarifikasi UGM

Penting untuk diingat bahwa tudingan mengenai keaslian ijazah Jokowi bukanlah hal baru. Isu ini pertama kali mencuat sekitar tahun 2019 dan terus berulang, seringkali diembuskan oleh pihak-pihak tertentu dengan berbagai narasi. Salah satu narasi awal mempertanyakan keabsahan ijazah SMA Jokowi, yang kemudian dibantah oleh pihak sekolah dan kepolisian. Gugatan hukum pun pernah dilayangkan, seperti oleh Bambang Tri Mulyono (penulis buku "Jokowi Undercover") pada tahun 2022 dan Eggi Sudjana pada tahun 2024, meskipun gugatan-gugatan tersebut akhirnya tidak membuahkan hasil atau dicabut.


Di tengah polemik yang terus bergulir, Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai almamater Jokowi telah berulang kali memberikan klarifikasi. Pada Maret 2025, misalnya, UGM kembali menegaskan keaslian ijazah Sarjana Kehutanan milik Joko Widodo. Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Sigit Sunarta, secara eksplisit menyatakan bahwa ijazah dan skripsi Jokowi adalah asli. UGM menjelaskan berbagai tudingan teknis, seperti penggunaan font Times New Roman pada sampul skripsi yang saat itu (era 1980-an) sudah lazim digunakan melalui jasa percetakan di sekitar kampus, meskipun isi skripsi masih diketik manual. Sistem penomoran ijazah yang berbeda juga dijelaskan sebagai kebijakan internal fakultas pada masa itu. Klarifikasi ini diperkuat oleh kesaksian teman seangkatan Jokowi, Frono Jiwo, yang membenarkan kebersamaan mereka selama kuliah hingga wisuda dan memiliki format ijazah yang serupa.


Respons Jokowi: Langkah Hukum Melawan Tuduhan

Setelah cukup lama memilih diam menghadapi berbagai tudingan, mantan Presiden Jokowi akhirnya mengambil langkah hukum. Pada akhir April 2025, Jokowi secara resmi melaporkan lima orang ke Polda Metro Jaya atas dugaan pencemaran nama baik dan fitnah terkait isu ijazah palsu ini. Kuasa hukum Jokowi menyebut inisial para terlapor antara lain RS, ES, T, dan K. Salah satu nama yang santer disebut adalah Roy Suryo (RS), yang memang cukup vokal menyuarakan keraguan terhadap ijazah Jokowi.


Langkah hukum ini diambil Jokowi dengan alasan bahwa tuduhan tersebut terus berlarut-larut dan perlu diselesaikan melalui jalur hukum agar terang benderang. "Ini sebetulnya masalah ringan, urusan tuduhan ijazah palsu. Tetapi perlu dibawa ke ranah hukum, agar semua jelas dan gamblang ya," kata Jokowi saat itu. Para terlapor dijerat dengan pasal-pasal dalam KUHP tentang fitnah dan pencemaran nama baik, serta pasal-pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Tindakan Jokowi ini menandai babak baru dalam polemik panjang seputar keabsahan dokumen pendidikannya.


Relevansi Isu dan Implikasinya Kini

Meskipun klarifikasi dari UGM sudah tegas dan pandangan hukum dari pakar seperti Mahfud MD juga sudah jelas memisahkan ranah pidana dan ketatanegaraan, mengapa isu Mahfud MD ijazah palsu Jokowi ini masih terus relevan dan diperbincangkan? Fenomena ini menunjukkan adanya dimensi lain di luar sekadar persoalan hukum formal. Isu ini kerap kali berkelindan dengan sentimen politik dan ketidakpuasan terhadap figur Jokowi atau kebijakan-kebijakannya. Tuduhan ijazah palsu menjadi semacam 'amunisi' yang mudah didaur ulang untuk menyerang legitimasi personal, meskipun secara hukum tata negara, seperti dijelaskan Mahfud, dampaknya terbatas.


Pentingnya menjaga nalar dan logika hukum, seperti yang diwanti-wanti oleh mantan Menko Polhukam tersebut, menjadi sangat krusial. Terus-menerus mempersoalkan hal yang secara substansi ketatanegaraan tidak relevan, apalagi setelah adanya klarifikasi resmi dari institusi pendidikan terkait, berpotensi menguras energi publik dan mencederai logika berpikir. Kasus ini menjadi pengingat bahwa dalam diskursus publik, terutama yang menyangkut tokoh nasional dan stabilitas negara, diperlukan kedewasaan untuk memilah antara kritik yang konstruktif dan serangan personal yang didasarkan pada informasi yang belum tentu valid atau bahkan sudah terbantahkan. Proses hukum yang kini berjalan atas laporan Jokowi diharapkan dapat memberikan titik terang dan mengakhiri polemik yang berlarut-larut ini.

Lebih baru Lebih lama