Koperasi Merah Putih: Ambisi Ekonomi Desa, Skema Pinjaman Rp 5 M, dan Jaminan APBN

Kopdes Merah Putih target 80.000 unit

6tv.info - Wacana ekonomi nasional kembali diramaikan oleh sebuah inisiatif ambisius dari pemerintah, yaitu program pembentukan Koperasi Merah Putih. Program yang juga dikenal sebagai Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdes Merah Putih) ini menjadi sorotan utama menyusul terbitnya kebijakan percepatan dan skema pendanaan skala besar yang baru-baru ini diumumkan.


Secara konsep, Koperasi Merah Putih dirancang sebagai model baru lembaga ekonomi berbasis desa atau kelurahan. Tujuannya adalah untuk mengakselerasi pembangunan ekonomi desa, meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan, dan pada akhirnya berkontribusi pada kemandirian pangan nasional. Pemerintah memandang program ini sebagai langkah strategis untuk pemerataan ekonomi dari pinggiran.


Landasan hukum program ini tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025 yang ditandatangani Presiden Prabowo Subianto pada 27 Maret 2025. Inpres tersebut mengamanatkan percepatan pembentukan hingga 80.000 unit Kopdes Merah Putih di seluruh Indonesia. Angka ini menunjukkan skala masif dari program yang melibatkan koordinasi lintas kementerian dan pemerintah daerah.


Salah satu aspek yang paling menarik perhatian publik adalah skema pendanaan yang disiapkan. Setiap unit Koperasi Merah Putih yang terbentuk berpotensi mendapatkan pinjaman BUMN dari Himpunan Bank Negara (Himbara) dengan plafon mencapai Rp 4 hingga 5 miliar. Dana jumbo ini, yang akan digunakan untuk biaya pembentukan dan modal kerja, dijamin oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sebuah mekanisme yang menimbulkan berbagai pertanyaan.


Lebih lanjut, mekanisme penjaminan ini menyertakan klausul bahwa jika terjadi kredit macet, Dana Desa yang dialokasikan untuk desa bersangkutan dapat dipotong untuk menutupi utang ke bank BUMN. Skema ini, meskipun dimaksudkan untuk mengamankan pinjaman, memunculkan kekhawatiran terkait risiko fiskal bagi desa dan potensi terganggunya program pembangunan desa lainnya.


Artikel ini akan mengupas lebih dalam mengenai program Koperasi Merah Putih, mulai dari detail kebijakan dalam Inpres 9/2025, proyeksi dampak ekonominya, model bisnis yang diusung, hingga menelaah struktur pendanaan unik melalui pinjaman BUMN berjaminan APBN. Tidak ketinggalan, potensi tantangan implementasi dan kritik yang muncul terkait program ini juga akan dibahas secara komprehensif.


Landasan Kebijakan dan Target Ambisius Koperasi Merah Putih

Program Koperasi Merah Putih tidak hadir tanpa dasar hukum yang kuat. Presiden Prabowo Subianto secara resmi meluncurkan inisiatif ini melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025, yang ditandatangani pada 27 Maret 2025. Inpres ini menjadi fondasi utama yang menggarisbawahi urgensi dan arah strategis pembentukan Kopdes Merah Putih di seluruh penjuru negeri. Dokumen tersebut menegaskan perlunya langkah yang bersifat strategis, terpadu, terintegrasi, dan terkoordinasi antar berbagai pemangku kepentingan, mulai dari kementerian/lembaga hingga pemerintah daerah.


Tujuan besar yang diemban oleh program ini sangat jelas: mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan berkelanjutan dan memulai pembangunan dari desa untuk mencapai pemerataan ekonomi. Visi jangka panjangnya bahkan dikaitkan dengan pencapaian target Indonesia Emas 2045. Inpres ini secara spesifik menugaskan belasan menteri dan kepala lembaga terkait, termasuk Menko Pangan, Menkop UKM, Mendes PDTT, Menkeu, Mendagri, hingga para kepala daerah (gubernur dan bupati/wali kota), untuk mengambil langkah komprehensif sesuai tugas dan fungsi masing-masing demi menyukseskan program koperasi desa/kelurahan merah putih ini.


Percepatan Pembentukan 80.000 Unit di Seluruh Desa/Kelurahan

Skala program Koperasi Merah Putih terbilang sangat masif. Target yang dicanangkan adalah pembentukan tidak kurang dari 80.000 unit Kopdes Merah Putih di seluruh desa dan kelurahan di Indonesia. Angka ini mencerminkan ambisi pemerintah untuk menjadikan koperasi sebagai soko guru ekonomi desa secara merata. Inpres 9/2025 secara eksplisit memerintahkan adanya 'percepatan' dalam pembentukan unit-unit koperasi ini, menandakan adanya urgensi dalam implementasinya.


Strategi percepatan yang diamanatkan bersifat afirmatif, holistik, dan berkesinambungan. Ini melibatkan tidak hanya pendirian unit baru, tetapi juga pengembangan dan revitalisasi koperasi yang mungkin sudah ada di tingkat desa/kelurahan. Hingga awal Mei 2025, dilaporkan sekitar 5.200 unit Kopdes Merah Putih telah terbentuk, menunjukkan bahwa proses implementasi sudah berjalan meskipun jalan menuju target 80.000 unit masih sangat panjang. Koordinasi antar level pemerintahan menjadi kunci, dengan gubernur bertugas mendorong dan memfasilitasi bupati/wali kota, yang kemudian melakukan pembinaan kepada pemerintah desa melalui camat.


Skema Pendanaan Unik: Pinjaman BUMN Rp 5 Miliar Berjaminan APBN

Salah satu elemen paling krusial dan menjadi sorotan dari program Koperasi Merah Putih adalah skema pendanaannya. Berbeda dari program bantuan langsung, Kopdes Merah Putih akan dimodali melalui mekanisme pinjaman BUMN, khususnya dari bank-bank yang tergabung dalam Himpunan Bank Negara (Himbara). Plafon pinjaman yang disiapkan untuk setiap unit koperasi terbilang fantastis, yaitu antara Rp 4 miliar hingga Rp 5 miliar, disesuaikan dengan kebutuhan spesifik masing-masing koperasi.


Dana pinjaman ini dialokasikan untuk dua tujuan utama: biaya awal pembentukan infrastruktur koperasi (kantor, gudang, dll.) dan modal kerja untuk menjalankan berbagai unit usahanya. Keberadaan modal kerja yang signifikan diharapkan dapat membuat koperasi desa/kelurahan merah putih mampu bersaing dan memberikan layanan ekonomi yang nyata bagi anggotanya dan masyarakat desa secara luas.


Mekanisme Pencairan dan Persyaratan Pengurus

Pencairan pinjaman BUMN ini tidak serta-merta diberikan. Kopdes Merah Putih harus terlebih dahulu resmi terbentuk dan memiliki badan hukum yang sah. Setelah itu, pihak bank Himbara akan melakukan verifikasi ketat terhadap proposal dan kebutuhan dana yang diajukan. Sebagai contoh, jika koperasi ingin menjadi agen penyalur pupuk bersubsidi, mereka harus menunjukkan bukti kontrak atau surat perintah kerja (SPK) sebelum dana modal kerja dicairkan. Ini menunjukkan adanya mekanisme kontrol untuk memastikan dana digunakan sesuai peruntukan.


Selain kelayakan usaha, kriteria pengurus koperasi juga menjadi pertimbangan penting bagi Himbara. Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi menegaskan bahwa pengurus yang dipilih haruslah orang yang 'layak' dan tidak memiliki masalah hukum, minimal dalam lima tahun terakhir. Hal ini bertujuan untuk meminimalkan risiko kredit macet akibat salah urus atau penyelewengan dana. Pinjaman ini juga dirancang dengan skema bunga subsidi dan tenor pengembalian yang cukup panjang, diperkirakan sekitar 10 tahun, untuk meringankan beban koperasi di masa awal operasinya.


Kontroversi Jaminan APBN dan Risiko Dana Desa

Aspek paling unik dan kontroversial dari skema pendanaan Koperasi Merah Putih adalah penggunaan jaminan APBN. Menteri Koperasi menjelaskan bahwa APBN bertindak sebagai semacam penjamin (guarantor) atas pinjaman yang diberikan Himbara kepada puluhan ribu koperasi tersebut. Mekanisme penjaminan ini menjadi lebih kompleks dengan adanya klausul terkait Dana Desa.


Jika sebuah Kopdes Merah Putih mengalami kredit macet dan tidak mampu membayar kembali pinjamannya ke bank BUMN, maka Dana Desa yang seharusnya diterima oleh desa tersebut akan dipotong untuk menutupi tunggakan utang. Menteri Budi Arie menganalogikannya seperti pemotongan gaji karyawan untuk membayar cicilan pinjaman pribadi. Meskipun logika ini sederhana, implikasinya bagi keuangan desa bisa sangat signifikan. Pemotongan Dana Desa dapat mengganggu program pembangunan prioritas lainnya di desa dan menimbulkan pertanyaan tentang keadilan serta otonomi pengelolaan keuangan desa.


Model Bisnis, Potensi Ekonomi, dan Dampak Sosial

Agar dapat berjalan efektif, setiap unit Koperasi Merah Putih diwajibkan menjalankan beberapa unit usaha inti, meskipun tetap harus memperhatikan karakteristik dan potensi lokal. Unit usaha yang dimandatkan dalam Inpres 9/2025 mencakup kantor koperasi, kios pengadaan sembilan bahan pokok (sembako), unit bisnis simpan pinjam, klinik kesehatan desa/kelurahan, apotek desa/kelurahan, sistem pergudangan atau penyimpanan dingin (_cold storage_), serta sarana logistik desa/kelurahan.


Keberadaan unit-unit usaha ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar masyarakat desa, mulai dari akses terhadap sembako dengan harga terjangkau, layanan keuangan mikro, fasilitas kesehatan primer, hingga infrastruktur logistik untuk mendukung produk pertanian atau perikanan lokal. Model bisnis yang terintegrasi ini dirancang untuk menangkap berbagai peluang ekonomi desa.


Proyeksi Keuntungan dan Perputaran Ekonomi Desa

Pemerintah menunjukkan optimisme tinggi terhadap potensi ekonomi program Koperasi Merah Putih. Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi mengklaim bahwa setiap Kopdes berpotensi meraih keuntungan minimal Rp 1 miliar per tahun setelah beroperasi penuh, terutama didorong oleh penyaluran barang-barang bersubsidi. Dengan target 80.000 unit, potensi perputaran uang melalui jaringan koperasi ini diproyeksikan bisa mencapai Rp 2.000 triliun per tahun, mendekati total perputaran uang di desa saat ini yang diperkirakan mencapai Rp 2.800 triliun.


Selain keuntungan finansial bagi koperasi, dampak ekonomi dan sosial yang diharapkan juga signifikan. Menko Pangan Zulkifli Hasan menyebut program ini berpotensi menyerap hingga 2 juta tenaga kerja di pedesaan. Lebih lanjut, keberadaan Kopdes Merah Putih diharapkan mampu memotong rantai pasok yang selama ini terlalu panjang, terutama untuk komoditas seperti sembako, sehingga harga di tingkat konsumen bisa lebih stabil. Program ini juga digadang-gadang dapat mengurangi peran tengkulak dan rentenir yang seringkali merugikan petani dan masyarakat desa.


Tantangan Implementasi: Belajar dari Sejarah dan Kritik

Di tengah optimisme pemerintah, program Koperasi Merah Putih juga menghadapi sejumlah tantangan dan kritik. Salah satu isu utama adalah dinamika hubungan antara Kopdes Merah Putih yang baru dibentuk dengan lembaga ekonomi desa yang sudah ada sebelumnya, terutama Koperasi Unit Desa (KUD) yang memiliki sejarah panjang sejak era Orde Baru.


Perspektif Kemenkop: Sinergi Kopdes Merah Putih dan KUD

Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) berupaya meredam kekhawatiran akan potensi konflik atau tumpang tindih. Deputi Bidang Kelembagaan dan Digitalisasi Koperasi, Henra Saragih, menegaskan bahwa pembentukan Kopdes Merah Putih tidak akan menghilangkan KUD yang sudah eksis. Sebaliknya, ia melihat adanya peluang kerja sama antara kedua jenis koperasi ini.


Kemenkop berharap jaringan luas yang dimiliki oleh Induk Koperasi Unit Desa (Inkud) dapat dimanfaatkan untuk mendukung program koperasi desa/kelurahan merah putih. Mengingat setiap desa memiliki karakteristik unik, sinergi antara KUD dan Kopdes Merah Putih diharapkan dapat mengangkat seluruh potensi desa secara optimal. Kemenkop juga dilaporkan sedang menyusun model bisnis spesifik untuk mengatur kerja sama antara Kopdes Merah Putih dengan lembaga ekonomi desa lainnya.


Kritik Model Top-Down dan Risiko Kegagalan Masa Lalu

Namun, pendekatan pembentukan Koperasi Merah Putih yang bersifat _top-down_ (dari atas ke bawah) menuai kritik tajam dari sejumlah pengamat koperasi. CEO Induk Koperasi Rakyat (Inkur), Suroto, misalnya, menyamakan pendekatan ini dengan model pembentukan KUD di masa lalu yang dinilai kurang berhasil. Ia mengingatkan bahwa meskipun KUD diguyur bantuan infrastruktur dan privilese bisnis (seperti penyaluran pupuk dan penyerapan gabah), banyak yang justru gagal berkembang karena membuka peluang _moral hazard_ dan menjadi bancakan pengurus.


"Koperasi Desa Merah Putih berpotensi sangat besar mengulang kegagalan koperasi terdahulu, karena perdekatannya sama. Pemerintah tidak belajar dari kesalahan di masa lalu," ujar Suroto, seperti dikutip Tempo.


Menurut Suroto, koperasi yang sehat seharusnya tumbuh secara _bottom-up_ (dari bawah ke atas), lahir dari inisiatif dan kebutuhan riil masyarakat. Peran pemerintah seharusnya lebih sebagai regulator dan fasilitator yang memberikan insentif, bukan sebagai pendiri koperasi. Kekhawatiran muncul bahwa modal besar dari pinjaman BUMN yang digelontorkan secara _top-down_ tanpa rasa kepemilikan yang kuat dari anggota dapat mengurangi rasa tanggung jawab dan keberlanjutan koperasi itu sendiri.


Pentingnya Pendekatan Bottom-Up dan Pengawasan Ketat

Menanggapi kritik tersebut, penting bagi pemerintah untuk memastikan implementasi program Koperasi Merah Putih benar-benar melibatkan partisipasi aktif masyarakat desa sejak awal. Meskipun Inpres memberikan arahan _top-down_, pelaksanaannya di lapangan harus mampu menumbuhkan rasa kepemilikan (_ownership_) dari anggota dan pengurus koperasi. Transparansi dalam pengelolaan dana pinjaman BUMN yang nilainya sangat besar menjadi mutlak diperlukan.


Pengawasan yang ketat, baik dari pemerintah pusat, daerah, maupun dari masyarakat sendiri, sangat krusial untuk mencegah terjadinya penyelewengan dan memastikan dana digunakan secara efektif untuk pengembangan usaha koperasi. Mekanisme jaminan APBN dan potensi pemotongan Dana Desa juga menuntut adanya sistem mitigasi risiko yang jelas agar tidak membebani keuangan desa di kemudian hari. Belajar dari pengalaman KUD, keberhasilan koperasi merah putih akan sangat bergantung pada tata kelola yang baik, kapasitas SDM pengurus, dan model bisnis yang adaptif terhadap kondisi lokal.


Program Koperasi Merah Putih merupakan sebuah pertaruhan besar pemerintah dalam upaya mentransformasi ekonomi desa. Dengan target ambisius 80.000 unit dan dukungan pendanaan masif melalui skema pinjaman BUMN berjaminan APBN, inisiatif ini memiliki potensi signifikan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan dan memperkuat ketahanan pangan nasional. Proyeksi keuntungan miliaran rupiah per koperasi dan perputaran ekonomi triliunan rupiah menjadi daya tarik utama program ini.


Namun, di balik potensi besar tersebut, tersimpan pula risiko dan tantangan yang tidak kecil. Skema pendanaan unik dengan jaminan APBN dan mekanisme potong Dana Desa menimbulkan pertanyaan serius tentang risiko fiskal dan otonomi desa. Kritik terhadap pendekatan _top-down_ yang mengingatkan pada kegagalan KUD di masa lalu juga patut menjadi perhatian serius. Keberhasilan koperasi desa/kelurahan merah putih pada akhirnya akan sangat bergantung pada kemampuan pemerintah untuk memastikan implementasi yang transparan, akuntabel, partisipatif, serta didukung oleh pengawasan ketat dan kemauan untuk belajar dari sejarah.

Lebih baru Lebih lama